Jumat, 10 Februari 2012

BERANIKAH KITA BERSIKAP KERAS ( Menpertahankan Pulau Lari-larian )

Terbitnya Permendagri No. 43 tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lerek-Lerekan, yang mengakibatkan Propinsi Kalimantan Selatan dan kabupaten Kotabaru kehilangan Pulau Lari-larian ( Pulau Lerek-lerekan versi Permendagri ) yang selama ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.


Permendagri No. 43 tahun 2011 tersebut telah melukai perasaan masyarakat Kalimantan Selatan dan kabupaten Kotabaru khususnya, karena terbitnya tanpa memperhatikan fakta-fakta yang ada dan kurang maksimalnya melibatkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kabupaten dalam mengambil keputusan.
Bahwa sudah menjadi sesuatu yang faktual, dan lebih dari cukup bukti-bukti yang menyatakan Pulau Lari-larian adalah bagian dari Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Diantara sekian banyak bukti yang diajukan sebagai bahan pembuktian pada proses hukum PTUN dan Judicial Review, ada beberapa hal yang sangat menggelitik nurani kita sebagai warga Negara ( warga Kalsel) bagian dari NKRI ini, antara lain :
Pembahasan Amdal oleh pemrakarsa yaitu PT. Pearl Oil berdasarkan dokumentasi dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup sangat jelas dilaksanakan beberapa kali di kabupaten Kotabaru sebagai daerah penerima dampak dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam di wilayah Pulau Lari-larian. Maka dengan demikian sangatlah ironis kalau secara tiba-tiba saja ditetapkan secara sepihak oleh Mendagri bahwa Pulau Lari-larian termasuk dalam wilayah administratif Sulawesi Barat. Sementara daerah penerima dampak adalah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan.
Kemudian sikap Mendagri yang menolak bertemu dengan Ketua DPRD Kalimantan Selatan dan Bupati Kotabaru adalah salah satu bentuk arogansi Mendagri dan pelecehan terhadap simbol publik rakyat Kalimantan Selatan, sementara perlakuan yang berbeda oleh Mendagri terhadap pihak Sulawesi Barat.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai warga Kalimantan Selatan menyikapi terbitnya Permendagri dan perlakuan sikap mendagri yang seperti itu, apakah kita hanya diam-diam saja, bereaksi dengan “santun” dengan menggunakan bahasa retorika “kita negara kesatuan untuk apa mempersoalkan Pulau yang merupakan bagian dari NKRI, kita Negara hukum, biarkan proses hukum nanti yang memutuskan mari kita buktikan warga Kalsel taat hukum, kita harus menjaga suasana kondusif..bla bla bla… dan kalimat-kalimat lainnya” yang sayangnya kalimat-kalimat tersebut muncul dari pihak Kalimantan Selatan.
Coba kita berandai-andai bagaimana kalau yang berposisi mengambil pulau tersebut adalah pihak Kalsel, apa yang akan dilakukan oleh pihak Sulawesi Barat?....
Hampir bisa dipastikan mereka akan mengambil sikap “180 derajat” berbeda dengan sikap Kalsel selama ini. Harkat dan martabat mereka akan terusik keras dan akan melakukan perlawanan keras pula dan itu akan dilakukan oleh semua elemen, dan tidak aka nada kalimat-kalimat retorika seperti diatas, upaya hukum bagi mereka mungkin hanyalah simbolis.
Dengan demikian banyak “pelajaran dan tamparan” yang sebenarnya bisa kita ambil untuk instropeksi sebagai orang Kalsel.
Kerja tanpa Visi dan Misi
Memang betul Pulau Lari-larian adalah masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, bagi kita warga kalsel itu tidak diragukan lagi, namun upaya mempertahankan Pulau tersebut hanyalah dipandang sebagai kegiatan atau program atau proyek APBD yang harus dilaksanakan. Bagaimana visinya agar keberadaan pulau tersebut memberi manfaat bagi warga Kalsel dan bagaimana misinya mempertahankan dari keinginan pihak Sulbar yang berupaya merebutnya? Tidak maksimal terwujud dalam tindakan para pejabatnya.
Bukti kongkritnya adalah berapa banyak sudah pejabat yang semestinya terlibat aktif dalam pembahasan keberadaan Pulau Lari-larian baik ditingkat lokal maupun nasional hanya berharap pada “margin” SPPD, cukup absen hadir selesai. Bagaimana hasil pembahasannya terserah ikut arus saja, terus buat laporan kegiatan bahwa program sudah terlaksana, apa hasilnya sama sekali tidak menjadi hal yang semestinya di pedulikan. Bahkan ada yang hanya absen dan dapat tandatangan SPPD kemudian melaksanakan agenda pribadi lainnya.
Kejadian tanggal 9 – 11 Juli 2008 di Hotel Banjarmasin Internasional ( HBI ) Banjarmasin Rapat Pembakuan Nama-Nama Pulau di Kalimantan Selatan, antara Tim Nasional dan para pejabat pemprop dan Pemkab se-Kalimantan Selatan. Menghasilkan Berita Acara rapat tertanggal 11 juli 2008, yang hasilnya adalah daftar nama-nama pulau di Kalimantan Selatan. Kemudian pada tanggal 26 Oktober 2011 ternyata oleh Tim Mendagri yang menerbitkan Permendagri 43 tahun 2011 menyatakan bahwa salah satu alasan kenapa Pulau Lari-larian tidak masuk wilayah Kalsel adalah berdasarkan berita Acara Rapat tanggal 11 Juli 2008 lengkap dengan lampiran tandatangan didalam berita acara tersebut, dimana menurut mereka pihak Pemprop dan pemkab Kotabaru tidak memasukkan Pulau Lari-larian sebagai pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kalsel. Alasan yang diajukan ini sangat mengejutkan yang membuat kita semua menjadi bertanya-tanya “apakah benar demikian?..”
Setelah alasan tersebut terekspose, semua pihak yang terlibat membuat klarifikasi bahwa tidak benar berita acara tersebut, merasa dimanfaatkan dan disalahgunakan, yang sebenarnya adalah cuma tandatangan daftar hadir dan tidak pernah menandatangani berita acara dan menurut para pejabat pemprop dan pemkab saat itu mereka mengajukan Pulau Lari-larian masuk sebagai wilayah Kalsel, namun di pending karena terhadap pulau tersebut juga diajukan oleh pihak Sulbar. SUDAH SELESAI begitu saja, namun sangat disayangkan bahwa mengenai “pending” tersebut tidak masuk dalam catatan berita acara. Artinya BENAR hanya Sulawesi barat yang mengajukan Pulau Lari-larian masuk sebagai wilayah administrasinya. Dalam Laporan Tim nasional Pembakuan nama-nama Pulau di Indonesia tidak ada perselisihan /perebutan pulau Lari-larian tersebut antara Kalsel dan Sulbar.
Coba kita simak dengan seksama kejadian diatas !..
Akan banyak pertanyaan-pertanyaan yang patut kita ajukan. Kenapa tim pemprop dan Pemkab pada tahun 2008 itu lalai terhadap persoalan yang krusial ini ?..Benarkah para pejabat yang hadir saat itu serius mengikuti rapat?..Rapat dan adanya Berita Acara Rapat itu pada tahun 2008 kenapa baru ketahuan sekarang dan wajar apabila ada pertanyaan Gubernur dan Bupati Kotabaru saat itu lagi ngapain?..kenapa tidak memperhatikan persoalan tersebut?..
Terlepas persoalan Berita Acara Rapat itu palsu atau tidak benar, yang jelas begitulah faktanya yang terjadi dan kalau merasa itu palsu atau tidak benar kenapa tidak ada proaktif dari Gubernur sebagai pemilik domain perkara ini untuk mengambil tindakan dan mengambil langkah hukum yang tegas membuat laporan polisi?.. ( Laporan Polisi yang akan dilakukan saat ini khan inisiatif dari masyarakat Kotabaru sama sekali bukan dari pemprop, bahkan Pemprop terkesan tidak mendukung upaya laporan pidana terhadap dugaan pemalsuan tersebut ).
Inilah faktanya kinerja birokrasi yang akhirnya merugikan daerah dan berdampak langsung terhadap lambatnya pembangunan daerah.

Lemahnya Loby/ Bargaining
Disamping bekerja tanpa visi dan misi faktor lemahnya loby dan “bargaining” pada tingkat pusat pemerintahan juga sangat lemah, sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sulawesi Barat.
Keluarnya Permendagri 34 tahun 2011 tersebut adalah indikator kuat bahwa lemahnya loby dan “bargaining position” pihak Kalsel pada tingkat pusat. Terlepas pada persoalan prosedural tidaknya dan bagaimana lemah dan cacatnya proses permendagri itu terbit. Di negeri ini apa yang tidak bisa dilakukan dalam hal urusan tidak procedural untuk kepentingan kapitalis.
Persoalan Pulau Lari-larian yang di klaim oleh pihak Sulbar ini sudah tercuat sejak tahun 2006, dan sejak saat itu pihak Sulbar terus melakukan upaya-upaya “pendekatan” ke pusat pemerintahan untuk menyatakan pulau tersebut masuk dalam wilayah adminitrasinya. Namun apakah kegigihan pihak Sulbar sebanding dengan langkah-langklah yang dilakukan pihak otoritas di Kalsel?...jawabannya adalah TIDAK!
Keberadaan Kalsel di tingkat Pusat hanyalah dipandang sebagai lokasi investasi / Eksploitasi Sumber Daya Alam yang “aman” karena orang-orang di Kalsel tidak banyak tingkah dan gampang diatur walaupun diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Suka tidak suka kita harus menerima “image” seperti itu.

Harus Lebih Keras
Apakah Kalsel selalu mengambil sikap mengalah setiap persoalan yang muncul, demi menciptakan kondisi daerah yang kondusif untuk investasi. Kondusif buat siapa?..itu pertanyaannya.
Kalau pihak Sulbar menganggap perebutan Pulau Lari-larian ini adalah persoalan harkat dan martabat mereka, kenapa pihak Kalsel yang daerahnya direbut tidak memandang persoalan ini sebagai persoalan harkat dan martabat juga. Siapa sebenarnya yang merebut dan siapa yang semestinya merasa harkat dan martabatnya diinjak-injak.
Masyarakat awam kebanyakan memang tidak mengerti persis perkara Pulau Lari-larian ini, cuma masyarakat Kalsel khususnya Kotabaru berhak atas pembangunan dimana keberadaan pulau tersebut bisa berdampak positif secara tidak langsung bagi peningkatan kesejahteraan warga kalsel dan kotabaru.
Bukankah sudah banyak pelajaran dan pengalaman investasi di Kalsel selama ini, dimana investasi eksploitasi sumber daya alam bukannya mensejahaterakan masyarakat Kalsel malah sebaliknya, dan khususnya contoh di Kotabaru eksploitasi PT. Arutmin dan PT. BCS, PT. SMART membuktikan hal itu dimana sampai saat ini tiga perusahaan besar tersebut “tidak bisa tersentuh” oleh pemerintah lokal ( Kebijakan pemerintah daerah )
Dengan demikian momentum mempertahankan Pulau lari-larian ini semestinya membuat kita warga kalsel sadar, bangun dari tidur panjang. Berhenti berdiam diri dan selalu mengalah. Saatnya kita tunjukkan bahwa kita juga bisa “keras”. Kita tidak bisa menyangkal bahwa daerah-daerah yang bersikap keras lah selama ini yang mendapatkan perhatian lebih dari pemeintah pusat.
Beranikah?...keberanian muncul karena benar, oleh karena itu kurangi dan kikis sikap feodalis bagi para pejabat-pejabat eksekutif maupun legeslatif yang seringkali “berselingkuh” dengan pengusaha. Dan bagi Gubernur Kalsel harus lebih menonjolkan memperjuangkan kepentingan daerah dan lebih berani lagi berhadapan dengan pemerintah pusat. Jangan mengerdilkan diri dengan alasan jabatan Gubernur adalah jabatan perwakilan pemerintah pusat.
Orang Kalimantan Selatan juga bisa bersikap keras dan tegas, semoga tidak hanya sebuah utopia.

Kotabaru 1 Januari 2012.

Noor Ipansyah
( Advokat/ ketua YALAM/LAMAS Kotabaru.)