Kamis, 31 Maret 2011

Tahun 2100 Pulau Laut dan Pulau Sebuku akan tenggelam

Banjarmasin, KP – Pulau Laut dan Pulau Sebuku diprediksikan tenggelam pada 2100 mendatang, akibat pemanasan global, yang menyebabkan es di kutub utara dan selatan mencair dan meningkatnya permukaan air laut.

“Tenggelamnya dua pulau kecil di Kalsel ini, bersama 115 pulau kecil lainnya di seluruh Indonesia,’’ kata anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim, Swary Utami Dewi kepada wartawan, usai sosialisasi pemanasan global kepada anggota DPRD Kalsel, Senin (21/3), di Banjarmasin.

Hal ini berdasarkan penelitian dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi terhadap dampak perubahan iklim di Indonesia, dimana naiknya permukaan air laut menyebabkan sejumlah pulau kecil di Indonesia tenggelam.

“Jika dibiarkan seperti ini, maka pulau kecil di Indonesia akan tenggelam,’’ ungkapnya, bahkan menunjukkan artikel pada 2009 lalu, sudah tiga pulau kecil di Nanggroe Aceh Darussalam yang hilang.

Namun demikian, Swary Utami mengakui, adanya pertambangan atau tidak di kawasan tersebut, tetap menyebabkan kedua pulau tersebut tenggelam, akibat naiknya permukaan air laut. “Tetapi adanya pertambangan jelas mempercepat tenggelamnya kedua pulau, yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca,’’ jelasnya.

Selain dua pulau kecil di wilayah Kalsel yang tenggelam, dampak naiknya permukaan air laut juga dirasakan di kawasan Banjarmasin, dimana air laut akan naik sekitar 0,934 meter.

“Banjarmasin akan terendam air, terutama di kawasan yang tergolong rendah, dan hal ini akan diperburuk lagi pada saat pasang dalam,’’ ungkap Tami, panggilan akrab Swary Utami Dewi.

Untuk itulah, Dewan Nasional Perubahan Iklim melakukan sosialisasi kepada anggota DPRD provinsi, agar bisa memberikan kebijakan yang tepat dalam menanggulangi perubahan iklim, terutama pemanasan global.

“Kita sengaja memaparkan dampak dan penyebab perubahan iklim, yang diakibatkan pemanasan global,’’ tambahnya, pada pertemuan yang dihadiri Ketua DPRD Kalsel, Nasib Alamsyah bersama wakil pimpinan dewan lainnya.

Adanya pengetahuan ini, diharapkan dewan bisa memberikan solusi ataupun langkah tepat untuk mengantisipasi pemanasan global, atau paling tidak mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Karena Kajian DNPI 2009 menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 60 persen sampai dengan tahun 2030, dengan kombinasi yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional,’’ ungkap Tami.

Dijelaskan, perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor kehutanan, pembangkitan listrik dan transportasi, serta pengelolaan lahan gambut, merupakan peluang bagi Indonesia untuk beralih ke jalur ekonomi yang lebih berkelanjutan, seiring dengan penggunaan energi, dan sumberdaya alam yang semakin efisien.

“Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi sekarang utamanya dihasilkan akibat aktivitas manusia,’’ katanya.

Ditambahkan, yang termasuk dalam kelompok Gas Rumah Kaca adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida atau nitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). “Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan nitrogen oksida,’’ ungkap Tami.

Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transport, penggundulan hutan, dan pertanian. Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6) hanya menyumbang kurang dari satu persen. (lyn)





~ oleh Narti Kalimantan Post pada Maret 23, 2011.

Ditulis dalam LINTAS KABUPATEN, POLITIK, umum kalsel